‘Emas’ Luwu (bag. 2)

 



Selain memiliki emas berwujud batuan mineral berwarna coklat keemasan, Luwu juga kaya akan emas berwarna ‘hijau’ yang menjadi makanan pokok bangsa kita. Walaupun awalnya berwarna hijau, namun setelah matang dan siap panen emas hijau ini akan berubah menjadi warna kuning ke’emas’an juga. Karena jadi kebutuhan pokok dan akan jadi bahan langka ditengah ancaman krisis pangan global karena pandemi maka wajar tanaman ini dapat dikatakan bahan berharga senilai emas sebenarnya.

Saat masa panen seperti saat ini (oktober-november), arus mobilisasi truk-truk yang membawa Gabah Kering Panen (GKP) menuju pabrik pengolahan yang saat ini cuman terdapat di Kab. Sidrap menjadi pemandangan menarik. Saat saya duduk santai di teras rumah yang kebetulan berada di poros jalan trans Sulawesi, hanya duduk santai selama 1 jam terhitung sekitar 50-70 truk pembawa GKP tersebut lewat, di kesempatan lain ketika saya berkendara dari Palopo menuju Belopa tak kurang 40-50 truk pembawa gabah kering itu harus didahului karena mereka yang seolah menghambat lalu lintas perjalanan. Estimasinya dalam sehari -arus mobilisasi ini kadang 24 jam- tak kurang 500-550 truk dari daerah Luwu Raya menuju pabrik penggilingan beras atau Rice Milling Plant (RMP) yang berada di Kab. Sidrap. Bila 1 truk mengangkut 10 ton atau 100 karung gabah, berarti dalam sehari sekitar 5.000 ton, masa panen yang kadang intens selama 1 bulan maka jumlah GKP dari Luwu Raya yang diangkut menuju pabrik RMP di Kab, Sidrap sekitar 170.000 ton. Bila dalam setahun 2 kali, masa panen berarti tak kurang 350.000 ton gabah kering yang diangkut keluar dari sumber produksinya di Luwu Raya. Gabah kering tersebut dengan modernnya pabrik saat ini dapat langsung diolah menjadi beras tampa proses pengeringan secara manual lagi. Bahkan keesokan harinya gabah kering itu kembali dibawa ke Luwu menjadi produk ‘Beras Sidrap’. Pun truk-truk itu umumnya milik pengusaha beras dari Sidrap bukan milik masyarakat Luwu.

                                                           sering terjadi kecelakaan karena truk kelebihan muatan gabah kering

Ironis?...bisa dikatakan begitu, bila di Luwu sudah memiliki pabrik pengollahan/RMP, gabah-gabah kering itu akan menjadi ‘Beras Luwu’ maka tentunya akan meningkatkan kesejatraan petani Luwu dan arus perekonomian bidang beras dan produk bawaannya akan sangat meningkat. Petani akan merasakan harga gabah per-kg akan meningkat karena kurangnya makelar pembeli gabah yang membebankan biaya transportasi/angkutan ke petani. Hadirnya pabrik-pabrik penggilingan beras modern di Luwu akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan juga lapangan kerja baru di Kabupaten Luwu, pabrik beras juga akan menciptakan produk buangan seperti sekam dan bekatul yang menjadi pakan ternak sehingga menciptakan industri peternakan terpadu dengan industri pertanian. Maka selain beras, Luwu akan menjadi produsen daging dan telur ayam yang menjadi kebutuhan yang tak aka nada habisnya (berkelanjutan).




                                                                        salah satu Rice Milling Plant (RMP) di Kab. Sidrap

Seolah menjadi pertanyaan yang sulit dijawab selama ini, kenapa tidak dibangun pabrik pengolahan beras terpadu tersebut di Luwu? Kenapa tak ada investor yang berniat membangunnya di Luwu? Disatu sisi Pemda Luwu sejak dulu dan sekarang selalu mendorong agar segera ada pabrik tersebut di Luwu bahkan kemudahaan izin telah diberikan namun mungkin terdapat faktor ‘X’ yang membuat pabrik tersebut belum beroperasi di Luwu. Pun selama ini dampak negatif terjadi disektor transportasi, arus tinggi mobilisasi truk-truk itu sering menimbulkan kemacetan dan kerusakan jalan dan bahkan sering terjadi kecelakaan yang merengguk nyawa pengguna jalan.

Sejak dahulu Luwu telah menjadi daerah agraris yang memiliki lahan pertanian basah (sawah) yang sangat luas di provinsi Sulawesi Selatan. Data BPS Sulsel tahun 2019, luas lahan sawah di Sulsel seluas 668.397 Ha, dimana Luwu Raya (Luwu, Lutra, Lutim & Kota Palopo) menyumbanng 87.870 Ha (14%) dari luas total itu. Dari sisi produksi, Sulsel memproduksi 5.054.000 ton GKG dimana Luwu Raya menyumbang 731.200 ton atau sekitar 15%. Di Kab. Luwu sendiri produksi gabah kering mencapai 369.100 ton, dimana wilayah walmas (Walenrang Lamasi) menyumbang 137.900 ton atau sekitar 40% dari produksi tahun 2019. Nah daerah inilah cikal bahal yang masih berjuang menjadi otonomi baru Luwu Tengah. 


                                                     Foto udara lahan persawahan di Kecamatan Bupon, Kab Luwu

Secara nasional Sulsel menjadi nomor 4 sebagai lumbung beras dengan produksi tahun 2019 lalu sebanyak 5.1 juta ton GKG (gabah kering giling), dengan produksi beras 2.9 juta ton. Secara konsumsi masih terdapat surplus 1,2 juta ton beras di Sulsel. Namun dengan potensi luas lahan persawahan yang dimiliki dan dengan intensifikasi pertanian, Sulsel akan menjadi lumbung pangan terbesar di Indonesia.

produk beras Sidrap

Perda Luwu 5/2018 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan (LP2B) bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan luasan lahan pertanian agar tidak dialihfungsikan sehingga produksi pertanian khususnya beras dapat terus ditingkatkan, namum dalam perda tersebut belum menetapkan total luasan LP2B sehingga dituntut segera diterbitkan peraturan bupati untuk menetapkan lokasi dan luasan lahan LP2B tersebut berbasis sistem informasi geografis (GIS). Beberapa tahun terakhir dengan pembangunan saluran irigasi oleh pemerintah daerah dimana telah banyak lahan kritis, lahan tak produktif bahkan perkebunan yang diganti dengan lahan persawahan sehingga potensi luas lahan sawah di Kab. Luwu akan semakin meningkat. Saat ini luas sawah produktif di Luwu seluas 57.000 Ha, berpotensi untuk ditingkatkan menjadi 65.000 Ha pada tahun 2022, sejalan dengan RPJMD 2019-2024 Luwu yang memprioritaskan pembangunan di sektor pertanian.

Seperti semboyan Tanah Luwu yang berbunyi Luwu Wanua Mappatuwo Na Ewai Alena”, yang berarti Luwu negeri yang menghidupi dan mandiri. Kata “menghidupi” atau mappatuwo di sini juga berarti makmur, salah satunya potensi pertanian sawah tersebut. Pun ditambah dengan potensi SDA lainya seperti perkebunan, perikanan/kelautan, ekowisata, kuliner dan juga sektor baru di bidang pertambangan emas (baca juga : Emas Luwu (bag. 1). Potensi SDA itu juga didukung oleh SDM Luwu yang terus akan ditingkatkan dan dikembangkan keahliannya serta didukung dengan tersedianya infrastruktur pendukung untuk menarik investasi ke tanah Luwu (baca juga : Sub Urban Bua)

Semboyan yang menjadi peninggalan dan warisan orang tua kita di Luwu itu harus terus kita jaga dan kembangkan dengan tetap mempertahankan budaya kearifan lokal sehingga cita-cita dalam semboyan tersebut dapat terus terwujud. Semoga.

KT-asn pemda Luwu

*Belopa, 3/11/2020

Komentar

  1. Industry pertanian meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan di kab Luwu ketua

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembangunan Moderat

'Emas' Luwu (bag. 1)

Potensi Luwu