Hutan Simoma
Beberapa hari ini ramai dibicarakan adanya aktifitas pembukaan lahan di hutan penelitian Simoma yang berlokasi di Desa Temboe, Kec. Larompong Selatan Kab. Luwu. Kawasan hutan tujuan penelitian yang ditetapkan sekitar 40 Ha itu bertujuan untuk pelestarian keanekaragaman hayati flora dan fauna endemik Luwu seperti pohon kayu bitti, kayu lara, anggrek, kawanan monyet dan burung. Secara histori kawasan ini bahkan sejak ada sejak jaman kolonial Belanda seluas 60 Ha yang kemudian ditetapkan oleh kementrian LHK sebagai hutan penelitian.
Dugaan pengrusakan area hutan penelitian ini berupa pembuatan jalan-jalan lingkungan dan petak kavling dengan menebang pohon yang telah berusia puluhan tahun. Aktifitas pembukaan lahan yang mungkin sejak lama ini dimulai dari belakang sehingga tidak terlalu terlihat dari area depan gerbang masuk. Nanti dengan adanya laporan dari masyarakat setempat baru kegiatan ini diketahui.
Tim terpadu Pemda Luwu yang di instruksi langsung bupati Luwu untuk turun kelokasi selain menemukan adanya aktifitas fisik dilapangan juga bahwa telah terbitnya SPPT PBB sebanyak 103 dalam kawasan itu. Dugaan awal penerbitan SPT oleh oknum didasarkan atas informasi bahwa kawasan itu bukan hutan lindung tapi telah berubah menjadi area penggunaan lain (APL).
Dalam perda RTRW Luwu, kawasan hutan Simoma ini ditetapkan salah satu kawasan strategis kabupaten (KSK) untuk pengedalian lingkungan sebagai hutan penelitian sehingga pemda Luwu berkewajiban menjaganya. Sejak terbitnya perda tahun 2009 itu kawasan itu memang bukan hutan lindung karena dapat dimamfaatkan pemerintah dengan tujuan mendukung pelestarian lingkungan namum bukan untuk dimiliki secara pribadi.
Secara aturan, kewenangan pengelolaan hutan penelitian telah diatur UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dan beberapa permen LHK salah satunya no. 16/2014 dimana pengelolaannya dilakukan secara kolaboratif dengan pemda kabupaten., provinsi dan kementrian LHK. Juga pemberian izin pemamfaatan juga direkomendasikan dari pemerintah bawah sampai izin dikeluarkan oleh kementrian LHK.
Pemda kabupaten sendiri hanya mempunyai kewenangan mengintegrasikan kawasan hutan penelitian itu kedalam rencana tata ruang dan zonasinya, kewenangan pengawasan pemamfaatannya oleh provinsi melalui dinas kehutanan atau Balai Pengelola Kawasan Hutan (BPKH) provinsi. Sedangkan izin pemamfaatannya oleh kementrian LHK yang biasa diberikan kepada lembaga penelitian dan universitas untuk kepentingan penelitian. Sehingga peran masing-masing harus mendukung dan kolaborasi tidak saling menyalahkan bila terjadi persoalan seperti ini. Pengalihan beberapa kewenangan pemerintah kabupaten ke provinsi sejalan UU 23/2014 salah satunya kehutanan sehingga pengawasan kegiatan dalam kawasan hutan di kabupaten menjadi kurang optimal, mungkin perlu dipikirkan mengembalikan kewenangan tersebut ke daerah.
Untuk aspek legalisasi lahan dinas pertanahan kabupaten dan ATR/BPN memegang peran dalam pengendalian kawasan itu agar tidak dialih fungsikan dan dialih statuskan menjadi milik pribadi. Terbitnya SPPT PBB diduga salah prosedur itu biarlah menjadi pelajaran berharga agar tidak terulang lagi dimana perlunya koordinasi antar instansi dan OPD dalam membuat sebuah kebijakan, kalaupun bila nanti masuk ranah hukum baik itu perdata maupun pidana (bila terjadi transaksi jual beli lahan). Bentuk pelanggaran pengrusakan kawasan hutan penelitian ini sendiri termasuk pelanggaran tata ruang (UU 26/2007) dan pelanggaran kehutanan (UU 41/1999) yang sanksinya administasi dan bahkan hukuman penjara. Perlunya tindakan yang tegas kepada oknum agar kejadian ini tidak terulang di Luwu dan di tempat lain.
Komentar
Posting Komentar