Hari ke-7 & 8 : mantunu

Prosesi yang dianggap paling sakral dan klimaks dalam upacara Rambu Solo yaitu mantunu, dimana kerbau dan hewan pelengkap (babi, sapi, kuda, rusa, dan ayam) dikorbankan selama 2 hari sebelum prosesi penguburan (makaburu). Ritual ini dianggap paling sakral karena menurut kepercayaan adat Toraja yang dulu berasal dari Aluk Todolo, darah dari kerbau dan hewan pelengkap itu yang akan menjadi bekal arwah mendiang untuk menuju kehidupan baru di Puya (Surga) dan setelah berada di Puya, mendiang itu dapat memberkati anak cucunya yang masih hidup dibumi. Namun seiring dengan kepercayaan agama (Kristen dan Islam) yang telah dianut masyarakat Toraja, tujuan persembahan kerbau itu bertujuan untuk dikomsumsi dalam acara dan dibagi-bagikan kepada semua warga dan keluarga. Ritual mantunu ini secara finansial/anggaran merupakan alokasi terbesar sekitar 80-85% dari besaran biaya keseluruhan rangkaian rambu solo.

Pagi hari semua kerbau dari berbagai jenis dan hewan pelengkap yang merupakan persembahan dari keluarga inti/terdekat (anak, cucu, saudara dan sepupu) di'parkir' dalam pelataran rante tempat acara berlangsung. Kerbau-kerbau itu yang pada acara ma'pasa tedong telah diperkenalkan kembali di'absen' satu persatu sesuai dengan siapa pemiliknya. Makna/tujuan penyebutan kepemilikan kerbau itu agar seluruh rumput keluarga dan warga setempat mengetahui bahwa keturunan mendiang itu telah memberikan penghormatan dalam bentuk persembahan kerbau. Ini juga akan menjadi kebanggaan baik anak cucu yang mempersembahkan kerbau itu. Sedangkan kerbau yang diserahkan oleh para tamu dalam acara ma'tarima tamu sehari sebelumnya yang jumlahnya juga puluhan ekor hanya ditempatkan disekitar areal luar rante. 

Beberapa unsur dan simbol pelengkap yang dipasang dalam pelataran antara lain pohon aren yang ditancapkan, simbuang yang berasal dari pohon cemara, batu simbuang, kain merah (kaseda), bulu ayam dari 32 ayam kampung, dan gong. Simbol ini sebagai tanda bahwa jumlah kerbau yang dikorbankan lebih dari 24 ekor.

Dalam tatanan adat Toraja persembahan kerbau ini dianggap bentuk penghormatan tertinggi seorang anak kepada orangtuanya yang telah meninggal dunia, ini yang membuat para pemuda berani merantau kemana saja untuk mencari nafkah agar mampu secara finansial untuk membeli kerbau dan keperluan acara rambu solo orang tuanya apabila meninggal dunia. Orang Toraja yang tidak mau untuk ikut atau berpartisipasi kurang mendapat penghormatan dikampung bahkan mendapat cibiran/celaan karena secara sosial orang Toraja yang punya uang bahkan kaya raya tapi belum pernah melakukan acara mantunu hanya diberikan status To'Sugi, tapi jika sudah pernah mantunu dalam rambu solo akan diberikan status  To'makaka. 

Acara Rambu Solo Nek Kombongdatu yang menurut penatua setempat telah dikategorikan jenis Rapasan pada tingkatan Sapu Randanan Barata terdapat beberapa jenis kerbau yaitu Saleko jenis kerbau yang kepala dan semua badannya belang-belang. Lotong Boko, terdapat belang hitam hanya di punggungnya. Bonga, jenis kerbau yang semua bagian kepalanya belang, sedangkan seluruh badan berwarna hitam, dan ekor berwarna putih. Todi’, jenis kerbau yang kepala bagian depan tanduk berwarna putih. Hitam/ pudu, jenis kerbau yang berwarna hitam secara keseluruhan. Sokko (tanduknya kebawa). Sambao’ kerbau yang berwarna campuran antara abu dan hitam (hewan yang di nilai paling rendah) namun Sambao ini harus ada bahkan dikorbankan paling terakhir nanti pada acara penguburan. Dalam rambu solo ini setidaknya lebih dari 70 ekor kerbau dari berbagai jenis itu.

Pada hari mantunu ini semua kerbau yang telah dikumpul dipelataran secara simbolis telah diserahkan keluarga kepada warga adat setempat dalam bentuk saroan (wilayah adat terkecil dalam lembang) sehingga kerbau-kerbau tersebut dianggap akan mati dan dikorbankan. Setelah itu penatua adat dan kepala lembang (desa) membagi-bagikan kerbau itu ke masing-masing saroan berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayahnya. Pembagian ini juga harus adil dan seimbang dari jenis dan ukuran kerbau itu sehingga harus diberi tanda pada badan kerbau. Pembagian daging berdasarkan stratifikasi kedudukan warga dalam masyarakat. Terdapat 5 wilayah saron dalam Lembang Buntu Batu, Kec. Tikala ini yaitu Buntu Lombok, Pongsake, To'barana, Penanikan. 

Jaman dulu semua kerbau akan dikorbankan, namun seiring perkembangan jaman saat ini masing-masing saroan menyisakan. 1 atau 2 kerbau untuk dilelang sehingga selain daging kerbau warganya juga akan mendapatkan uang tunai yang dimasukkan dalam amplop (biasanya 300-1juta per amplop). Ini seperti bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan pemerintah saat pandemi. Setiap saroan biasanya mendapatkan 8-15 ekor kerbau sehingga apabila dipotong semua warganya akan kelebihan daging. Strategi penambahan dalam bentuk uang tunai kepada warga ini juga bertujuan untuk meningkatkan ekonomi warga sehingga bisa digunakan untuk membeli kebutuhan hidup lain.

Prosesi selanjutnya yang ditunggu yaitu pemotongan atau ma'tinggoro. Algojo yang disebut pa'tinggoro tedong bukanlah sembarang orang namun yang telah memiliki keahlian dan keberanian karena cara pemotongannya tidak lazim yaitu dengan sekali tebas dan kerbau biasanya tidak diikat pada kayu penopang. Jika sekali tebas tidak tepat sasaran kerbau bisa mengamuk dan berlari tidak karuan ke kerumunan orang. Dahulu cara pemotongan kerbau dengan menggunakan tombak (doke) namun saat ini menggunakan parang khusus. Tujuan sekali tebas dengan parang khusus ini juga bertujuan agar kerbau tidak tersiksa mati perlahan-lahan. Kodong ada permainan magis kerbau yang susah mati namun secara anatomi tubuh mungkin pada saat ditebas tidak sempurna memutus tali nafasnya sehingga kerbau masih berdiri dan berlarian. Pa'tinggoro yang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik akan menaikkan prestisinya selain mendapatkan kepala dan kulit kerbau (balulang) sebagai imbalannya.

Selain diberikan kepada saroan, beberapa kerbau juga disumbangkan oleh keluarga kepada masing-masing rumah ibadah, pemerintah lembang, pembangunan jalan/infrastruktur, dll. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan mantunu ini telah mengikuti perkembangan agama dan kepercayaan bahwa untuk dijadikan komsumsi semua warga dan pembangunan infrastruktur. Bukan lagi bahwa darah kerbau itu yang menjadi bekal pengantar mendiang ke Puya (Surga) seperti kepercayaan Aluk Todolo. 

Prosesi mantunu ini mengandung makna dan fungsi sosial budaya antara lain memelihara keberlangsungan adat dan budaya rambu solo, secara religi juga menegaskan bahwa tujuan pemotongan hewan telah sejalan dengan agama karena dikomsumsi secara bersama-sama dan gotong royong semua warga, secara tatanan masyarakat (politik) mantunu ini juga akan memberikan penghormatan dan status terhormat bagi yang melaksanakan ritual itu. Secara ekonomi, dengan jual beli kerbau ini juga terjadi proses perputaran uang dan menjadi mata pencaharian warga. Jadi pemikiran miring yang beranggapan bahwa mantunu tedong ini sebagai pemborosan dan gaya hidup hedonis tidaklah benar jika kita betul-betul mengetahui makna dan simbol dibalik ritual itu.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembangunan Moderat

'Emas' Luwu (bag. 1)

Potensi Luwu