Sempadan Sungai


“Dilarang membangun pinggir sungai”! entah ini disebut himbauan atau larangan ataupun ancaman yang sering disampaiakan oleh pemerintah (pusat, provinsi, kab/kota) kepada warga baik yang rumahnya telah ada maupun yang baru ingin mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pinggir atau tepi sungai ini yang diistilahkan dengan sempadan sungai, bahkan ini menjadi persyaratan utama dalam rekomendasi pemberian IMB tersebut.

Walaupun aturan sempadan ini telah terbit sejak dulu dengan aturan terbaru dalam PP 38/2011 tentang Sungai, namun penerapan banyak banyak kendala teknis dan non teknisnya. Bahkan beberapa daerah telah menerbitkan Perda yang mengatur sempadan sungai tersebut namum penerapan dengan tanpa sanksi yang tegas menjadi boomerang tersendiri bagi pemeritah maupun warga itu sendiri

PP 38/2011 menegaskan bahwa wilayah yang harus clear atau tak boleh terbangun di pinggir sungai itu terbagai beberapa kategori seperti sungai bertanggul dan tak bertanggul kemudian dibagi lagi dalam kategori sungai di wilayah perkotaan dan luar perkotaan, juga dibagi lagi dalam kategori kedalaman sungai. Sempadan terdekat untuk kategori dalam perkotaan, bertanggul dengan kedalaman 3 m, ini sempadannya hanya 10 m dari tepi sungai. Sedangkan ketegori terjauh yaitu sungai diluar perkotaan dan tak bertanggul, kategori ini mensyaratkan sempadan 100 m dari tepi sungai.

 

Pada umumnya sungai di Sulawesi Selatan, khususnya wilayah Luwu Raya masuk dalam kategori sungai tak bertanggul diluar wilayah perkotaan (sempadannya 100 m) dan kategori sungai dalam perkotaan dengan kedalaman lebih dari 3 m (sempadannya 15 m). Namun faktual masing terdapat bangunan terutama rumah warga yang melanggar aturan tersebut. Aturan itu kadang dianggap klise atau tak penting oleh masyarakat namum jika terjadi bencana hidrometerologi seperti banjir bandang yang mengerus tepi sungai sehingga terjadi longsor yang merusak atau menghanyutkan rumah warga bahkan dibeberapa kejadian menyebakan korban jiwa. Jika hal tak diingikan tersebut terjadi barulah aturan sempadan itu kembali diingat dan dianggap penting.

Secara histori, masyarakat Indonesia yang sejak dulu hidup dan bermukim disepanjang daerah aliran sungai (DAS) karena daerah tersebut terkenal subur dan menyediakan air sebagai sumber kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga pola pembentukan  kawasan perumahan dan permukiman secara linear sepanjang sungai bahkan pembentukan sebuah kota dipengaruhi oleh pola pembentukan permukiman sepanjang sungai tersebut. Tarikan potensi yang dimiliki wilayah pesisir sungai itu menjadi salah satu persoalan jika tidak diatur dan dikelola dengan baik. Peraturan yang telah dibuat seolah tak dapat mengatasi persoalan tersebut dengan penerapan yang sering tidak tegas dan konsisten.

Salah satu contohnya, dapat kita dilihat dari beberapa kejadian bencana yang terjadi 2 tahun terakhir di wilayah Luwu Raya dimana banyak rumah atau bangunan yang terkikis, tergerus bahkan terbawa arus karena sangat dekat dengan sungai atau dapat dikatakan melanggar aturan sempadan sungai tersebut. 

Walau kadang cuaca menjadi ‘kambing hitam’ atau aktifitas pertambangan, perkebunan di wilayah hulu dianggap menjadi penyebab banjir bandang itu. Faktanya secara global memang kondisi dunia saat ini terjadi kerusakan iklim akibat pemanasan global sehingga terjadi fenomena cuaca seperti La Nina yang menyebakan bencana alam hidrometeologi. Bahkan dalam KTT G20 di Roma, Italia dan KTT Perubahan Iklim COP26 sedang berlagsung di Glasgow, Skotlandia yang dihadiri Presiden Joko Widodo terungkap bahwa telah terjadi perubahan cuaca diseluruh dunia dengan kenaikan 1,5 derajat lebih panas sejak tahun 1.700 ini dinilai kenaikan yang sangat fatal untuk cuaca dunia akan datang. Isu perubahan iklim ini yang kedepan akan menjadi isu global dan dianggap akan menjadi faktor utama penyebab bencana alam yang terjadi.

Jadi kerusakan materi dan korban jiwa akibat bencana alam seminimal mungkin harus dihindari dengan salah satunya taat dan patuh terhadap peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah salah satunya tidak lagi bermukim atau akan membangun di wilayah sempadan sungai. Pemerintah dengan bantuan masyarakat juga kedepan diharapkan untuk melakukan relokasi bagi warga yang tinggal disepanjang sempadan sungai itu dengan beberapa kebijakan seperti penyediaan lokasi baru, pembangunan hunian tetap, dan rumah susun akibat relokasi tersebut. Ini juga menjadi mitigasi/pencegahan bila terjadi bencana agar tidak menimbulkan kerusakan, kerugian materi bahkan menimbulkan korban jiwa.

Bencana alam mungkin masih akan terjadi dan tidak bisa kita hindari namun dampak bencana tersebut dapat kita minimalkan, tujuan ini harus dilakukan secara kolaboratif dan sinergi antara pemerintah dan masyarakat itu sendiri.

Tambahan/Bonus…

Dampak ditutupnya Jembatan Miring

Berada di poros jalan nasional trans Sulawesi dengan ditutupnya Jembatan Miring ini arus transportasi dialihkan ke 2 jalan alternatife. Arah Selatan-Utara (melalui Padang Alipan-Tombang-Karetan), arah Utara-Selatan (melewati Rante Damai-Tabah-Seba2-Salutete). Pengalihan ini menyebakan kemacetan sehingga waktu tempuh yang normalnya hanya 2 menit menjadi 3 jam perjalanan.

Mari kita hitung metode cepat nilai kerugiaan social dan kerugian ekonominya:

Nilai kerugian transportasi yang diakibatkan kemacetan dihitung dengan beberapa indikator antara lain biaya BBM, biaya perbaikan kendaraan (30%) dan biaya upah/pendapatan pekerja (diakibatkan oleh kerugian waktu).

Estimasi sekitar 15.000 kendaraan yang setiap hari (24 jam) terjebak macet karena pengalihan arus tersebut dengan waktu macet sekitar 3-4 jam jarak temput jalan alternatif. Maka nilai kerugiannya untuk biaya BBM sekitar 850 juta, biaya perbaikan kendaraan sekitar 1,3 M, dan biaya upah pekerja 750 juta maka kerugiaan total harian hampir 3 Milyar per hari. Jika penutupan itu selama 10 hari maka kerugian transportasi akibat tertutupnya Jembatan Miring itu sebesar 30 M, nilai itu sudah bisa digunakan untuk membangun jembatan baru. Nilai itu belum termasuk kerugian kerusakan jalan alternatif, biaya operasional pengguna jalan, kerugian stres dan kelelahan penguna jalan dan biaya tak terduga lainnya.

Juga belum termasuk kerugian social dan lainnya yang dialami oleh pelaku transportasi dan masyarakat sekitar (silakan isi sendiri di kolom komentar kerugian masing-masing kalian yang masih macet dikendaraannya…hehe)

Sejarah Jembatan Miring

Awalnya dibangun tahun 1950 sebagai prasarana penghubung jalur Palopo-Masamba dengan struktur atas jembatan kayu ditopang oleh pondasi sumuran dengan masih menggunakan penopang (pier) ditengah jembatan. Istilah ‘miring’ ini tenyata asalnya karena jembatan itu memang dulu kondisinya miring.

Pada tahun 1952-1953 pemberontak DI TII yang terjadi di Sulawesi Selatan, para gerombolan-istilah pemberotak jaman itu- merusak jembatan itu agar menutup akses perburuan yang dilakukan oleh pemeritah. Caranya dengan merusak penopang dan abutmen jembatan itu sehingga jembatan itu menjadi miring.

Pada tahun 1982 dilakukan renovasi total terhadap jembatan itu dengan merubah struktur jembatan menjadi besi baja dengan struktur bawah dirubah dengan bentangan ditopang oleh abutmen beton. Pada tahap pelaksaaan pembangunan ternyata abutmen itu tidak ditopang oleh tiang pancang hanya pasangan pondasi batu kali dengan campuran beton bertulang. Hal ini yang mempengaruhi terjadi penurunan struktur jembatan akibat banjir bandang pada 30 Oktober 2021 kemarin.   

*sumber…wawancara dengan tokoh/pelaku sejarah setempat.

KT
kabid. RR BPBD Luwu

Komentar

  1. Thanks..tambahan referensinya bro.👍👍
    Sebagai saran saja mgkn lbh menguatkan lagi jika dalam tulisan di atas diselipkan kutipan pasal dlm PP 38/2011 yg menyebutkan batas clear sempadan sungai dgn berbagai kategorinya🙏

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembangunan Moderat

'Emas' Luwu (bag. 1)

Potensi Luwu