Normalisasi vs Naturalisasi

Tahun 2019 lalu sempat terjadi polemik di ibukota Jakarta terkait kebijakan pemerintahan sebelumnya zaman Ahok dan pemerintah saat ini zaman Anies untuk mengatasi masalah banjir yaitu ‘Normalisasi’ atau “Naturalisasi”,. Normalisasi dilakukan dengan cara pengerukan sungai untuk memperlebar dan memperdalam sungai, pemasangan sheet pile atau batu kali (dinding turap) untuk pengerasan dinding sungai, pembangunan sodetan, hingga pembangunan tanggul sedangkan naturalisasi dilakukan dengan mengembalikan fungsi sungai sebagai daerah resapan air, kawasan hijau, dan mengembalikan ekosistem sebagaimana kondisi alamiahnya lagi atau memasukkan sebanyak-banyak air kedalam tanah. Sebenarnya tujuannya hampir sama hanya metode penangannya yang berbeda, mungkin karena dibawa kearah politik jadinya seolah tujuannya berbeda.

Kembali ke musibah banjir bandang yang melanda kota Masamba 2 pekan yang lalu, kejadian memilukan menjadi pelajaran berharga bagi kita agar kedepan tidak terjadi lagi. Bencana alam itu mengajarkan kita bahwa pentingnya menjaga keseimbangan alam karena apa yang kita lakukan (ambil) dari alam, alam itu juga akan memberikan balasan -dalam bentuk bencana- bila kita tidak menjaga keseimbangannya. Jadi yang sekarang harus kita lakukan bagaimana mengembalikan keseimbangan alam tersebut.

Setelah Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono meninjau lokasi bencana, diputuskanlah 3 langkah untuk membantu penanganan darurat banjir bandang. Selain 2 langkah untuk mitigasi bencana dan juga akan dilakukan langkah permanen untuk jangka panjang yaitu normalisasi sungai dengan pengerukan, perbaikan alur sungai dan pembuatan tanggul sungai dengan struktur permanen.

Jika bicara historis, Sungai Masamba punya nilai sejarah bagi penduduk Masamba sebagai sumber penghidupan untuk kebutuhan sehari-hari baik sebagai sumber air bersih (minum) bahkan sebagaiv-maaf- WC umum tak heran dulu disaat pagi pemandangan ‘eksotis’ tersaji bila kita melewati Jembatan Masamba. Kebisaan negative inilah yang ingin pemerintah daerah hilangkan di sepanjang bantaran sungai Masamba, bahkan akan menjadikan Sungai Masamba sebagai Landmark Kota Masamba. Mungkin sejak dahulu  Masamba hanya identik dengan Bunga Masamba dan kecantikan “bunga-bunganna Masamba”- yang terakhir ini sayapun mengakuinya (hehe). Jembatan Sungai Masamba yang tepat berada dijantung kota Masamba sangat potensi untuk dikembangkan sebagai ruang terbuka hijau, pusat wisata, pendidikan dan pusat kuliner, disinilah konsep Normalisasi dan Naturalisasi bisa dilakukan sehingga akan menjadi landmark dari Kota Masamba.

Sejak 3 periode pemerintahan daerah, dimulai bupati saat itu Luthfi Andi Mutty tahun 2007 kemudian pada tahun 2012 bupati Arifin Junaidi sudah merencanakan penataan bantaran Sungai Masamba dengan melihat kota-kota besar didunia yang mengembangkan kawasan bantaran sungainya menjadi kawasan wisata dan ekonomi, namun baru tahun 2013 penanangan fisik mulai dikerjakan dengan melakukan pembebasan lahan. Untuk menjadikan Sungai Masamba sebagai landmark dengan mix-use (multifingsi) sebagai sarana taman hijau, olahraga, pendidikan/budaya, rekreasi keluarga dan pusat kuliner akan dilakukan pembebasan lahan seluas 25,3 Ha sepanjang bantaran sungai mulai dari jalan lingkar barat sampai lingkar timur. Naturalisasi sungai ini dilakukan juga sebagai mitigasi bencana apabila terjadi bencana banjir besar seperti baru-baru ini terjadi tidak akan merusak rumah warga dan menimbulkan korban jiwa.

Pada pemerintahan bupati Indah Putri Indriani tahun 2016 Taman Lestari Sulikan yang berada di bantaran sungai Masamba mulai difungsikan dan masyarakat sangat antusias menikmati taman rekreatif tersebut dan menjadi ikon baru di Masamba. Bahkan setahun setelahnya kembali dibangun Taman Pintar yang berada disisi utara Sungai Masamba.

Namum lumpur dan kayu gelondongan yang terbawa oleh banjir bandang menghancukan bahkan menghilangkan taman-taman sehingga tidak terlihat lagi. Lumpur dan pasir gunung telah menjadi sedimen setebal 2-7 m yang menutup sungai Masamba sehingga sungai tersebut menjadi delta yang kemudian akan menjadi daratan yang apabila tidak dilakukan normalisasi, sungai Masamba bisa tidak ada lagi. DAS Sungai Masamba mengalir dari hulu di pengunungan Lero (desa Lero) dan berakhir di hilirnya di Malangke, sedangkan Kota Masamba menjadi kawasan tengah (midlestream) dengan kontur datar sehingga material banjir kemarin banyak tertahan di tengah kota Masamba.

Sambil mitigasi bencana yang saat ini berjalan dengan slogan ‘Lutra Bangkit’ tak salah pabila kita mulai merencanakan pembangunan kembali dengan konsep Rehabilitasi ataupun Rekonstruksi dengan berorientasi ‘Keseimbangan Alam’, salah satunya melanjutkan pembangunan penataan kawasan bantaran Sungai Masamba yang sejak 2007 konsep penataan sungai Masamba telah ada dan telah memikirkan mitigasi apabila terjadi bencana banjir besar/bandang. Normalisasi dilakukan dengan pengerukan sedimen dan memperluas lebar sungai yang menyempit sedangkan Naturalisasi dilakukan dengan membebaskan area bantaran yang menjadi sempadan sungai (50-100 m dari tepi sungai) dari permukiman warga kemudian dibuat pembuatan taman-taman rekreatif sebagai daerah resapan air. Mari kita saling gotong royong dan memberikan semangat untuk membangun kembali Kota Masamba dengan pemerintah daerah sebagai lokomotif penggeraknya. Dan mungkin konsep Normalisasi dan Naturalisasi bisa gabungkan dikerjakan di Masamba, sehingga tidak lagi menjadi perdebatan politik.

KT-mantan asn pemda Luwu Utara

*Belopa, 25/7/2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembangunan Moderat

'Emas' Luwu (bag. 1)

Potensi Luwu