Lumpur Masamba
Lumpur Masamba
*Rasa belasungkawa saya harutkan pada saudara-saudara kita yang menjadi korban musibah banjir bandang ini baik yang meninggal, luka-luka, dan yang masih belum ditemukan*
Hutan itu mungkin sedang ‘marah’ dan ‘menangis’ akibat perbuatan kita yang secara terus menerus tak merawatnya dengan baik, setelah kita mengambil dan menguras mamfaat dari hasil hutan tersebut namun balas jasa yang kadang kita lupa berikan.
Kemarin, Senin 13/7/2020 sekitar pukul 11 malam, kota Masamba yang dilanda banjir bandang, bak kota berwarna coklat –mirip kopi cappuccino- luluh lantak akibat terjangan air yang membawa material lumpur dan kayu-kayu gelondong dari hutan. Banjir kali ini sepertinya lebih banyak material lumpur daripada air sehingga menyebabkan kota Masamba tertimbun sampai 2 m oleh lumpur endapan. Selama 2 minggu sebelumnya curah hujan yang cukup tinggi telah memberikan ‘sinyal’ bahwa akan terjadi bencana besar kemarin, beberapa kali ketinggian muka air beberapa sungai sudah tinggi.
Puncaknya kemarin –semoga tidak terjadi lagi- 3 sungai besar yang melewati kawasan sekitar Masamba yaitu Sungai Masamba, Sungai Radda dan Sungai Rongkong mengalami kenaikan debit air yang sangat ekstrim yang menurut warga belum pernah terjadi kenaikan seperti ini. Perkembangan pesat kota Masamba beberapa tahun ini membuat banyak semakin banyak permukiman warga berada disekitar bantaran sungai sehingga banjir bandang kali ini merusak rumah-rumah warga bahkan beberapa yang terbawa air bersama pemiliknya. Material lumpur dan kayu gelondong menambah kekuatan daya hantaman banjir tersebut juga merusak infrastruktur kota, perkantoran, bandara, jaringan utilitas kota bahkan jalan vital trans Sulawesi sepanjang 2 km tertimbun longsor setebal 1-2 m menyebakan jalur transportasi trans Sulawesi terputus.
Data BNPB Luwu Utara per Selasa malam 14/7/2020 korban jiwa sebanyak 13 orang, 10 orang berhasil selamat namun sebanyak 46 masih dinyatakan hilang-semoga segera ditemukan selamat-. Ada 6 kecamatan terdapat banjir kali ini yaitu Masamba, Baebunta, Baebunta Selatan, Sabbang, Malangke dan Malangke Barat menyebakan sekitar 15 ribu orang mengungsi, bahkan seolah tak pilih kasih banjir dan lumpur juga masuk ke rumah jabatan bupati sehingga Ibu Bupati pun terpaksa mengungsi ke rumah salah seorang warga.
Setidaknya ada 4 sungai besar yang melewati sekitar kawasan perkotaan Masamba (Sungai Masamba, Radda, Sabbang dan Baliase), kejadian kemarin 3 sungai tersebut yang seolah ‘marah’ sedangkan Sungai Baliase debit air masih normal, ini mungkin karena sejak dibangunnya Bendungan Baliase sehingga debit air sudah bisa terkontrol. Ketiga sungai lainnya memamg hulunya berada pada area kawasan dindung (HL) dan Hutang Produksi Terbatas (HPT).
JIka melihat perda RTRW Luwu Utara (No. 2/2011), Luwu Utara memiliki kawasan Lindung seluas 362.214 Ha atau sekitar 48% dari total luas wilayah Luwu Utara yang seluas 750.258 Ha. Menjadikan Luwu Utara sebagai kabupaten yang memliki kawasan hutan lindung terbesar di Sulawesi Selatan. Hal tersebut menutut pemeliharan dan pengendalian kawasan tersebut harus terjaga untuk menghidari bencana alam seperti banjir dan longsor.
Sungai Masamba yang hulunya berada beberapa desa seperti Lero dan Kamiri. Sungai Radda yang hulunya berada di desa Kamiri. Sungai Sabbang yang hulunya di desa Minanga, Kanandede, Penkendekan dan Lero. Sungai Baliase yang hulunya berada di desa Lantang Tallang, Pincara dan Leboni . Hulu-hulu sungai tersebut berada dalan zona kawasan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang apabila dilihat dengan menggunakan citra satelit saat ini dan kemudian dilakukan overlay dengan metode intersect terhadap peta kawasan lindung, diprediksi telah terjadi alih fungsi lahan menjadi lahan perkebunan yang mungkin dilakukan oleh masyarakat atau koorporasi.
Penggunaan Hutan Lindung (HL) harus mendapat izin pinjam pakai dari gubernur/menteri sedangkan penggunaan Hutan Produksi Terbatas (HPT) harus dijadikan Hak Guna Usaha (HGU) dulu baru bisa dibuka oleh masyarakat atau koorporasi. Pembukaan area perkebunan oleh masyarakat yang kemungkiman mereka juga tidak mengetahui peruntukan lahan tersebut, hanya karena kebutuhan mencari penghidupan secara ekonomi sehingga membuka lahan dikawasan yang dilindungi. Pembukaan lahan dan penanaman jenis tanaman yang tidak mendukung pelestarian kawasan lindung tersebut menyebakan daerah tangkapan air (catchment area) menjadi berkurang di kawasan lindung tersebut. Apabila terjadi hujan dengan intensitas tinggi menyebakan air hujan tidak terserap ke dalam tanah kemudian bisa menyebakan longsor di area hulu tersebut. Material longsor inilah yang akan terbawa ke area lihir pada saat terjadi banjir.
Hipotesa awal saya, banjir bandang yang terjadi belakang ini tidak hanya di Luwu Utara juga terjadi di Luwu (Pompengan, Suli, Suli Barat, Bua dan Larompong) dan Palopo (longsor dijalur poros Palopo-Rantepao) ini disebabkan perubahan alih fungsi lahan kawasan lindung. Pelimpahan kewenangan kehutanan dari kabupaten/kota ke provinsi pada tahun 2019 lalu membuat tidak optimalnya pengendalian dan pengawasan kawasan hutan, khususnya hutang lindung di kabupaten/kota. Padahal jika menelisik UU 23/214 tentang pemerintahan daerah, salah satu urusan konkuren yang menjadi urusan wajib pemerintahan daerah kab/kota yaitu urusan penataaan ruang yang berhubungan erat dengan pengendalian dan pengawasan kawasan hutan lindung. Juga Program pemerintah pusat sesuai dengan Permen LHK No.83/2016 yaitu Hutan Sosial yang memberikan akses pengelolaan hutan lindung ke masyarakat demi meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar hutan tersebut, namum pengelolaan yang salah dan penanaman jenis tananam yang tidak tepat justru akan merusak ekosistem kawasan lindung itu sendiri.
Saat ini tak etis rasanya untuk mencari penyebab siapa yang salah yang menyebakan kejadian memilukan ini, tanggap darurat yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang terdampak sambil evakuasi korban yang saat ini belum ditemukan. Animo masyarakat untuk memberikan bantuan kemanusian yang sangat besar baik dari sesama mayarakat Luwu Utara maupun dari kabupaten lain (individu, perusahaan, ormas, pemda) seolah memberikan semangat bagi para korban betapa rasa kemanusiaan kita sangat besar disituasi bencana alam ini dan masih dalam kondisi masa Pandemi covid-19 ini. Namun kita perlu pikirkan jangka panjang, kebijakan pemerintah daerah dan pusat apa yang bisa segera dilakukan agar kejadian ini tidak terualang lagi sampai menyebakan korban jiwa. Karena dalam UU No. 27/2016 tentang penataan ruang kesalahan tata ruang terbesar itu apabila sudah sampai menimbulkan korban jiwa.
Solusi jangka menengah dan panjang yang perlu segera diambil pemerintah daerah antara lain, sosialisasi yang intens ke masyarakat tentang area kawasan yang bisa dijadikan area perkebunan, pembatasan perizinan pada kawasan Hutan Produksi (HP) dan HPT, pengendalian izin usaha disekitar bantaran sungai yang menjadi area tangkapan air (catcment area) disampaing agar kebijakan kewenangan kehutanan baiknya kembali jadi kewenangan kab/kota agar perencanaan, pengendalian dan pengawasan hutan lebih optimal.
Biarlah ‘lumpur Masamba’ yang tertinggal di kota Masamba ini (tidak terbawa air ke hilir) menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi pemerintah dan masyarakat kedepan agar proses intropeksi diri yang baik tidak menyebakan banjir bandang ini terjadi lagi. Pun lumpur tersebut biasanya bisa menjadi tanah yang subur untuk ditanami sayuran yang bisa kita makan dan kejadian banjir bandang ini tidak terjadi lagi. Semoga…
KT-pemerhati tata ruang
*Masamba, 14/7/2020
Komentar
Posting Komentar