Belajar dari Luwu Utara

Belajar dari Luwu Utara

Seolah berlomba-lomba, bantuan kemanusian menuju ke Masamba, Luwu Utara tak bisa terbendung bahkan hambatan akses transportasi yang masih terputus pun tak menyurutkan niat masyarakat untuk segera sampai di titik-titik pengungsian korban banjir bandang tersebut. Fenomena ini seakan menunjukkan bahwa Luwu Utara tidak sendirian untuk menghadapi bencana alam ini, pesan “Luwu Utara Bangkit” semakin memberikan dorongan semangat kepada para korban, relawan, dan pemerintah setempat dalam bekerja dalam masa tanggap darurat ini.

Tak terkecuali sesama rumpun wija to’ Luwu, warga Kabupaten Luwu tak mau tinggal diam melihat penderitaan saudara-saudaranya di Masamba. Tak beberapa jam sejak kejadian, mulailah berdatangan bantuan kemanusian dari individu, ormas, komuitas pemuda, komunitas alumni, komuntas arisan ibu-ibu, grup medsos, perusahaan, dan pemda Luwu dengan langsung dipimpin oleh Bupati Luwu mendatangi korban di pengungsian. Walaupun beberapa hari yang lalu masyarakat Luwu di beberapa kecamatan juga merasakan musibah banjir dan longsor, namun kejadian di Masamba kali ini yang memang lebih parah dampaknya membuat mereka tetap memberikan bantuan kemanusian.

Struktur dan kondisi geografis yang sama dengan Luwu Utara, harus menjadi sinyal warning bagi masyarakat Luwu saat ini dengan kondisi cuaca ekstrim dengan curah hujan yang tinggi sekitar 100-150 mm perhari (data BMKG). Kondisi ini harus menjadi tolak ukur dan pelajaran bagi masyarakat Luwu khususnya di daerah yang sering menjadi langganan banjir dan tanah longsor.

Dalam tahun 2020 ini beberapa daerah di Luwu yang terkenal menjadi langganan banjir besar antara lain di beberapa desa di Kec. Lamasi Timur (Pompengan, Pompengan Tengah), Kec. Bua (Puty, Pamesakang, Barowa, Tiromanda), Kec. Suli (Cimpu, Cimpu Utara, Malela, Cakeawo dan Kel. Suli) dan Kec. Suli Barat (Lindajang, Buntu Barana). Desa-desa tersebut berada disepanjang bantaran sungai besar dan dekat juga dengan pesisir pantai sebagai kawasan hilir sungai. Bencana longsor bahkan terjadi beberapa hari lalu di Desa Tibussan (Latimojong) yang merupakan kawasan hulu sungai. Beberapa analisa para ahli terkait penyebab bencana banjir bandang di Masamba disebabkan oleh adanya longsoran sidemen tanah yang kemudian menjadi bendungan alami dibagian hulu sungai Masamba dan Radda yaitu di Desa Lero. Kejadian longsor di Tibusang tersebut harus menjadi warning agar kejadian di Masamba tidak terjadi di Luwu.

Pada April lalu banjir di Kec.Lamasi Timur merendang 8 desa yang merusak sekitar 150 rumah warga, 5 rumah diantaranya sudah hilang tersapu banjir, lahan pertanian dan perkebunan milih warga juga terkena dampaknya. Dalam bulan Juli ini, berulang kali –seminggu sekali- banjir besar di Suli dan Suli Barat terjadi menggenangi permukiman warga setinggi 1-2 m yang berada disepanjang bantaran Sungai Suli dan melumpuhkan jalur trans Sulawesi hamper sejauh 3 km.





Beberapa Daerah Alisan Sungai (DAS) di Luwu yang berpotensi terjadi banjir apabila tidak terkontrolnya kondisi alam dikawasan hulu dan hilirnya antara lain :

-          1. Sungai Suli. Hulunya berapa desa Poringan dan Kaladi Darusalam dengan kawasan hilir di Kel. Suli

-         2. Sungai Cimpu. Hulunya berada di kawasan pengunungan Latimojong sampai ke wilayah Bastem. Sungai ini membelah beberapa kecamatan padat permukiman di Bajo dan Bajo Barat dengan hilir di kawasan Cimpu Utara.

-          3. Sungai Larompong. Hulunya berada di desa Rante Alang

-        4. Sungai Salu Pareman yang merupakan DAS terpanjang di Luwu dengan hulu berada di desa Balutan, Pantilang, Salubua sampai ke wilayah Kab. Toraja Utara.

-        5. Sungai Puty, Hulunya di Bukit Harapan dengan kawasan hilir di daerah permukiman pesisir yang padat penduduk di desa Puty dan Pamesakang.

-          6. Sungai Lamasi. Hulunya di desa Ilang Batu dan Lamasi Hulu dengan bermuara di Lamasi Pantai.

-     7. Sungai Makawa. Hulunya di desa Seba-Seba (Walbar) dengan hilir di desa Pompoengan Pantai yang dimuaranya terjadi pertemuan dengan aliran Sungai Rongkong dari Luwu Utara.

Kawasan hulu sungai-sungai besar tersebut berada dalam kawasan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang seperti halnya yang terjadi di Luwu Utara dan beberapa daerah lain dimana di kawasan tersebut terindikasi telah terjadi degradasi kawasan dengan alih fungsi lahan yang dijadikan area perkebunan. Kondisi tersebut tentunya akan berdampak rusaknya ekosistem daerah tanggapan air (catchmen area) sehingga menyebabkan longsor apabila curah hujan yang tinggi. Ketidakmampuan tanah dan sungai menahan volume dan lajur debit air akan membawa material air dan tanah/lumpur bahkan sisa gelondongan kayu ke kawasan hilir sungai. Pola pembentukan permukiman masyarakat yang sering berada di daerah sepanjang bantaran sungai dan secara umum di Kab Luwu, kawasan permukiman padat penduduk berada di area pesisir pantai yang menjadi muara sungai-sungai besar tersebut. Sehingga apabila terjadi kondisi curah hujan yang tinggi/ekstrim dan pada saat yang bersamaan terjadi pasang air laut makan akan menyebabkan banjir besar di area pesisir tersebut.

Sebenarnya banyaknya sungai besar yang berada di Kab. Luwu menjadi potensi SDA yang potensial untuk dikembangkan antara lain sebagai sumber air minum dan pengairan untuk irigasi pertanian. Pembangunan infrastruktur pendukung seperti intake dan reservoir untuk Sistem Pengolahan Air Minum (SPAM) di kawasan hulu, pembangunan bendungan untuk irigasi pertanian akan mengontrol debit air di sepanjang DAS, potensi debit air yang besar bahkan bisa menjadi pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Potensi SDA yang sangat besar bila dikelola dan dikembangan dengan baik dan berkesinambungan berbasis lingkungan. Pengelolaan SDA tersebut sebenarnya telah direncanakan dalam roadmap kebijakan-kebijakan daerah antara lain dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Induk Penyediaan Air Minum (Rispam), Rencana Pengelolaan Hutan Jangja Panjang (RPJHP) dan beberapa kebijakan strategi lainnya.

Namun sering kali pedoman strategis dan kebijakan tersebut tidak berjalan dengan baik dan berkesinambungan. Seringkali terjadi perubahan aturan dan kebijakan pemerintah pusat dan daerah seperti pengalihan kewenangan pengelolaaan hutan dari kab/kota ke provinsi pada tahun 2016 sesuai UU 23/2014 tentang pemerintahan daerah. Pengalihan kewenangan ini membuat pengawasan dan pengendalian hutan tidak berjalan optimal karena pemerintah kab/kota juga tidak serius lagi mengendalikan kawasan hutannya karena tidak lagi menjadi kewenagannya. Salah satu program stategis pemerintah pusat pada tahaun 2016 untuk mendukung pengentasan kemiskinan yaitu Program Perhutanan Sosial dengan atarura pelaksanaan termuat dalam Permen LHK No.83/201 yang memberikan akses pengelolaan hutan lindung ke masyarakat demi meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar hutan tersebut, namum pengelolaan yang salah dan penanaman jenis tananam yang tidak tepat justru akan merusak ekosistem kawasan lindung itu sendiri.

Dalam perda No 6/2011 tentang RTRW Kab. Luwu, luas kawasan lindung sebesar 85.371 Ha yang sebagian besar berada di kawasan pengunungan dimana kawasan hulu sungai besar tersebut berada, hal ini menuntut pengendalian kawasan tersebut harus tetap terjaga dan tidak boleh terjadi alih fingsi lahan. Pembangunan area permukiman baik di pedesaan dan perkotaan di kab. Luwu berkembang secara linier disepanjang daerah aliran sungai tersebut karena kawasan sepanjang sungai memang menjadi area yang subur. Secara geografis kawasan hulu dan hilir di kab. Luwu hanya berjarak interval 15-17 km, dengan ketinggian di hulu 1.000-1.200 mdpl yang tiba-tiba turun dratis ke ketinggian 50-60 mdpl di kawasan permukiman yang datar sampai ke pesisir. Hal tersebut membuat aliran air yang sangat cepat mengalir untuk mencapai kawasan hilirnya. Kawasan perkotaan seperti Belopa dan Suli yang hanya dalam radius 2-3 km dari pesisir pantai yang apabila terjadi pasang air laut yang bersamaan dengan debit air sungai dari hulu yang besar akan menyebakan banjir di kawasan perkotaan tersebut.

Melihat potensi SDA yang dimiliki, namun besarnya juga potensi bencana alam yang bisa diakibatkan maka perlu solusi berupa strategi dan kebijakan dari pemerintah daerah dan pusat yang harus segera diambil untuk mengindari bencana banjir bandang seperti yang terjadi di Masamba, Luwu Utara tersebut. Saran saya, untuk jangka menengah perbaikan prasarana saluran riol kota (baik saluran primer dan sekunder) yang berada di kawasan permukiman dengan memperbesar profil ukuran saluran tersebut. Mitigasi bencana harus segera dilakukan dengan pembentukan Satgas Bencana yang bertanggung jawab langsung ke Bupati sehingga apabila terjadi bencana, koordinasi dan penanganannya lebih cepat dan responsive, satgas bencana yang telah ada di setiap desa didorong untuk memberikan informasi cepat apabila terjadi curah hujan yang ekstrim dikawasan hulu sungai. Penyediaan jalur evakuasi dan tempat penampungan yang luas sehingga penanganan pengungsi bisa cepat pada saat terjadi bencana.

Untuk jangka panjang, mau tidak mau degradasi hutan yang menyebabkan alif fungsi hutan harus segera dihentikan dengan edukasi dan literasi mitigasi bencana ke masyarakat sehingga pembukaan hutan untuk perkebunan tidak lagi dilakukan oleh masyarakat pada kawasan yang dilindungi. Pengetatan dan penghentian pemberian izin pememfaatan hutan juga harus dilakukan, juga kebijakan pengalihan kewenangan hutan agar dikembalikan ke pemerintah kab/kota agar pemamfaatan dan pengendalian hutan lebih terjaga. Pada tahun 2020 ini pemerintah daerah Kabupaten Luwu akan melakukan revisi RTRW bisa dijadikan momentum untuk tetap mempertahankan luasan kawasan lindung dan menyusun strategis, program dan kebijakan yang mendukung untuk mencegah terjadinya bencana banjir, tanah longsor dan bencana alam lainnya.

Pada tahun 2019 lalu, Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin melakukan kajian tentang potensi bencana, terutama bencana banjir di seluruh daerah di Sulawesi Selatan sejak tahun 2017, Hasilnya, pada tahun 2019, peta potensi bencana di Sulawesi Selatan dipublikasikan di Journal of Physic. Dalam jurnal tersebut, salah satu daerah yang berpotensi banjir dengan tingkat risiko tinggi adalah kec. Lamasi dan Lamasi Timur, area sepanjang pesisir mulai dari Bua, Kamanre, Belopa, Suli sampai ke Larompong Selatan. Pada tahun 2020 ini pemda Luwu bekerja sama dengan Unhas melakukan peneitian ilmiah terkait banjir, semoga hasil MoU ini nantinya akan memberikan solusi arah kebijakan dan program untuk mencegar banjir.


Sambil memberikan semangat kepada saudara-saudara kita di Luwu Utara untuk kembali Bangkit dari musibah yang sedang mereka alami, kita di Luwu diajak untuk intropeksi diri dan belajar dari kejadian kelam yang terjadi di Masamba tersebut, karena potensi bencana seperti itu juga bisa terjadi di kabupaten Luwu. Semoga tidak terjadi…

“Jangan melihat masa lalu dengan penyesalan, jangan pula melihat masa depan dengan ketakutan, tapi lihatlah sekitarmu dengan penuh kesadaran.” – James Thurber (1894-1961), penulis dan kartunis terkenal Amerika.

KT-asn pemda Luwu

*Belopa, 16/7/2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembangunan Moderat

'Emas' Luwu (bag. 1)

Potensi Luwu